Senin, 08 September 2014

Rumah di Ujung Telepon

Satu, dua, tiga--empat minggu. Sudah satu bulan lebih aku jauh dari rumah, teman. Jauh untuk menimba ilmu di pulau yang mana orang-orangnya bersesak dada mencari nafkah. Rasa bangga dan gengsi hilang sudah. Masih tercium baru jika aku ingat saat aku dinyatakan lulus PTN di ITB. Orangtuaku yang masih awam dengan "apa itu PTN? kok ga langsung kerja aja di PTK?" pun menegakkan kepala menatap sekeliling keluarga besar menyambut hangat dan meriah keberhasilan anaknya. Mereka pun mengerti perjuangan anaknya itu bukan perjuangan biasa orang-orang yang meraih kursi institusi lain. Kuharap begitu. Rona bangga mereka kutafsirkan begitu. Entahlah jika pemikiran mereka masih seperti dulu, anggap jadi PNS sudah cukup membuat mereka tenang, kelak masa depanmu cerah. Itu. Entahlah, bukan itu yg ingin aku tekankan di sini, melainkan "Rumahku di Ujung Telepon".

Mereka bilang aku terkena demam "homesick". Penyakit yang tidak dapat diidentifikasi secara ilmiah. Hanya dapat dimengerti dengan perasaan. Jauh dari rumah bukan perkara mudah, apalagi kau menjalaninya selama berbulan-bulan--bahkan jika terpaksa, bertahun-tahun? nauzubillah. Satu bulan saja rasanya aku tak memiliki napsu hidup--gue tau ini lebay, tapi, serius, kebanggaan dulu hilang seketika saat gejala sial ini menyerang. Mungkin aku lemah? Yakali. Aku lemah, gini aja cengeng. Apa ini dikarenakan orangtuaku dari dulu memeliharaku dengan kelembutan dan kasih sayang berlebih? Sehingga membentuk pribadi lemah di diriku?

Telepon yang berdering, menggemakan suara-suara rumah tak cukup menghilangkan rasa rinduku yang sudah menusuk pilu relung dada yang nyaris bolong tergerusnya. Sapaan mereka, kepedulian mereka, hanya menambah deret kekesalan "mengapa aku begitu lemah?" Sempat aku berpikir, kenapa ya aku harus kuliah sejauh ini? Kok ga di Medan aja bisa pulang tiap minggu. Lantas aku melihat sekilas riwayat pendek teman-temanku yang mati-matian meraih cita-citanya setinggi bukit yang sedang kudaki. Lantas aku ingin melepas pegangan ini dan jatuh ke bawah sana? memang tidak ada rintangan di sini, tapi ingin stagnan seperti ini? Tak ada pengalaman, tak ada cerita, tak ada pengorbanan.

Aku kesal dengan diriku seperti ini. Sering menyalahkan atas segala keputusan yang telah kuambil. Padahal aku bukanlah tipe orang yang spontan, melainkan penuh pertimbangan--yang malah menjerumuskan aku ke palung penyesalan. Terlalu banyak pertimbangan sehingga apapun yang terpilih jawabannya, salah. Salah jika memilih melanjutkan pendidikan di jawa, salah jika memilih kuliah di daerah homeland aja. Stop your fuckin mouth!

Rumah di ujung telepon. Gambaran kabar di rumah terlukis dari derap suara mereka. Melukis abstrak bagaimana keadaan mereka di sana. Tak mampu melihat, hanya membayangkan. Aku berusaha bangkit, menjadikan mereka sebagai motivasi, dan terus memberitahu diri bahwa tujuan harus segera dicapai.

Kata mereka homesick hal biasa. Toh nanti juga hilang. Benarkah? Sampai tulisan ini terketik aku belum bisa mengatakan itu benar, karena aku sendiri belum merasakannya. Rumah di ujung telepon, apa kabarmu di sana? Masihkah diriku terkenang?



((Dalam tulisan ini penggunaan kata "gue" dihilangkan untuk keperluan alur))